Senin, 08 Agustus 2011

……………DAN LANGITPUN TETAP TERSENYUM


Awan mendung menari diatas langit diiringi dengan dentuman suara petir menyambar tanda akan turunnya hujan pada pagi itu. Nisa, seorang aktivis yang dikenal paling ceria diantara aktivis yang lain tampak murung, pikirannya entah kemana, suasana mendung langit tergambar dari raut wajahnya.
“Anti lagi ngapain?” tanya Fia
“Menanti sebuah senyuman dari atas langit”
Jawab ku mantap. Kulihat Fia malah bengong. Entah ngeh atau nggak dengan jawabanku tadi.
“Yuk, sholat Dhuha dulu. Mungkin Pak Yazid emang nggak ngajar hari ini, apalagi mau hujan”
Kutarik tangannya, berjalan dengan tergesa menuju Mushola kampus. Kulihat, raut mukanya masih terlihat bingung. Kubuyarkan semua itu dengan senyuman. Ah, kelak Fia juga akan tau, apa yang aku rasakan selama ini. Batinku.
***
“Nisaa…..” teriak kakak perempuanku
Dengan malas aku gerakkan tubuh ini menuju dapur
“Lu kemana aja ? kerjanya krluyuran trus. Ngga lihat apa piring kotor menumpuk belum lu cuci !!!”, Sifat kakakku keluar.
Hati ku sakit. Sering kali kakak ku berkata kasar seperti itu. Tapi aku bisa apa? Aku hanya seorang adik yang harus patuh sama kakaknya. Kuraih satu persatu tumpukan piring yang ada di dapur dengan mata menahan air mata.
Hati ku bergemuruh. Sabar, Nisa!! . Teriak hatiku.
Dan aku pun mulai mencuci satu persatu piring yang kotor itu dengan berlinang air mata.
Selesai mencuci piring, aku beranjak kembali ke kamar dan meraih buku agenda dan membaca kembila agenda yang sudah kutulis tadi malam. Baru saja aku asyik dengan aktifitasku, suara itu kembali terdengar di telingaku.
“Nisaa…..ada telepon!!” teriak kakakku kembali
aku langsung beranjak, bergegas menuju ruang tengah.
“Lu ngga denger ha?”
“Maaf kak, tadi Nisa lagi di kamar.” Jawabku. Ku ambil gagang telpon yang disodorkannya
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam. Nisa?” Tanya suara di seberang sana.
Yaa Robb. Akhi Iqbal. Sang ketua LDK di kampus ku. Aku malu sekali. Pasti dia dengar kata-kata kasar kakak ku tadi. Buat ia mengerti, yaa Robb.
“Iya. Ada apa, Akh?”
“Ada surat undangan dari Rohis SMUN 2, mereka minta beberapa akhwat untuk jadi pemateri di acara rihlahnya Rohis mereka. InsyaAllah, pesertanya akhwat semua. Ukhti bisa, kan?”
“InsyaAllah, Akh. Hari apa, ya?” tanyaku.
“Besok. Makanya ana telpon ukhti langsung. Bisa, kan?”
“Iya, InsyaAllah”
“Alhamdulillah. Jazakillah ya, Ukh. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam” jawabku lemas.
Semoga saja Akh Iqbal tidak menceritakan kepada ikhwah lain tentang apa yang barusan ia dengar. Lisan kakakku yang tidak terjaga. Aku malu. Karena aku adalah seorang aktifis. Aku gagal mewarnai keluarga ku dengan kehidupan yang Islami. Sebuah tugas yang amat sulit.
Titut….titut…titut….
Tergesa langkah ku menuju kamar. Aku paling senang jika mendengar nada itu.
ada SMS masuk.
“Ketika qt berharap kekuatan dr Allah. Maka Allah akn membrikan bnyak ujian u/ kt. Tp dr ujian itu, Allah mencetak qt mnjd manusia yg kuat. Ktika qt berharap cinta dr NYA. Maka Allah akn membrikan utusanNYA yg bermslh dlm hal cinta. Dan qt lah yg membri mreka cinta. Dr st qt akn tau, btp diri qt sdh diliputi bnyak cinta. Hnya sj, qt tdk pandai mensyukurinya. Ana mencinta ukhti krn Allah. Fia”
Aku tertegun. Darahku mengalir lebih lamban. Mataku panas.
Tes. Satu titik air bergulir dari kelopak mata ini. Ampunkan hamba, yaa Robb. Sudah banyak nikmat yang hamba kufuri. Hamba bersyukur, Engkau mempercayai hamba untuk mengkondisikan keluarga ini. Beri hamba kekuatan, yaa Ghofar.
Titut….titut…titut… kembali terdengar nada SMS masuk. Cepat kubuka kembali.
“Asw…Indahnya hdup bkn trletak pd sbrpa bnyak orng mngenal qt tp sbrp bnyk org yg bhgia ktka mngenal qt & ana bhgia tlah mngenal mbak, Mbak…ana uhibbuki fillah”
SMS dari Farah, adik tingkatku yang juga satu departemen denganku. Aku kembali menitikkan air mataku.
***
Cuaca pagi dikota itu memang masih sejuk bila angin berhembus, mendung namun hujan tak kunjung turun, sudah satu minggu ini kota Lubuklinggau setiap pagi selalu dibalut awan mendung yang amat sangat. Nisa beserta rombongan menuju kaki bukit sulap, lokasi Rihlah akhwat-akhwat SMUN 2.
“Mbak Nisa punya kakak, ngga?” Tanya seorang akhwat Rohis SMUN 2
Belum sempat aku menjawab, sudah ada lagi yang bersuara
“Pasti kakaknya sholihah juga ya? Sama kayak mba’ Nisa dan yang lainnya” kata mereka polos
Tak urung ku aminkan juga pertanyaan itu. Aku hanya bisa tersenyum.
“Gimana sih mbak biar kita bisa jadi mujahidah yang tangguh, seperti cerita mbak tadi?” yang pake jilbab biru bertanya dengan semangatnya duduk disamping kananku.
“iya, mbak. Kita pengen banget bisa menjadi mujahidah tangguh seperti yang mbak sebutkan tadi. Apalagi bisa dicemburui oleh bidadari-bidadari surga. Waaa.. bisa nggak ya, mbak?” yang jilbab coklat terlihat ekspresif.
“iya nih mbak. Jujur aja ya, mbak. Aku pingin banget jadi sosok muslimah cerdas dan kuat. Apalagi semangat mbak subhanallah, kita pingin dech kalau kuliah nanti jadi akhwat kampus yang punya kinerja dan loyalitas terhadap dakwah kampus kayak mbak. Pastinya keluarga mbak banyak berperan membentuk karakter mbak yang begitu kan?” yang jilbab biru kembali menimpali.
“yaa.. iyalah, masa’ ya iya dong hehe…” si jilbab coklat sedikit bercanda. “Mbak Nisa aja sholihah. Apalagi kakaknya!” yang jilbab hijau bersuara.
Aku hanya bisa menanggapi semua celotehan adik-adik SMU itu dengan senyuman. Andai mereka tau, betapa sulitnya ketika harus berdakwah dengan keluarga. Medan tersulit yang harus dihadapi oleh seorang kader dakwah. Aku lebih memilih mengkondisikan berpuluh Rohis SMU daripada mengkondisikan keluarga. Tapi, inilah kewajibanku, tantangan yang harus aku jalani dan aku menangkan dalam setiap skenario Allah swt.
“kalian semua bisa kok, dek. Kalau kalian sungguh-sungguh. Luruskan kembali niat. Kita berubah semata-mata karena Allah. Bukan karena siapapun” kupandangi satu-satu wajah manis di depanku. Betapa bahagianya hati ini jika selalu berada dalam komunitas di mana terdapat insan-insan yang mencintai saudaranya karena Allah. Hentikan saja waktunya, yaa Robb. Rasanya hamba tak mau kembali ke rumah. Ah, dhoif sekali diri ini.
***
“Kemana aja lu!! Dari pagi kerja lu cuma keluar rumah.” ditariknya jilbabku.
“maaf, kak. Tadi ada ujian di kampus. Jadi ngga bisa cepat pulang” kataku memelas. Setengah merintih menahan sakit.
“lu emang ngga ada manfaatnya ya. Percuma aja lu pake jilbab besar, kemana-mana kayak ninja. Sok alim, tapi ngga nurut sama perintah orang tua itu namanya BEJAT. Tolol !!!” di dorongnya tubuhku.
“Ada apa ini? Kenapa kalian berantem? Kalian kan sudah besar, malu didengar tetangga” bunda tiba-tiba keluar dari kamar, dan melihat ku terjatuh.
Kak Dina langsung membanting pintu kamar.
“Dia yang melawan, Bunda, dia nggak nurut sama perintah kakaknya, bisanya cuma keluar rumah!!” teriaknya dari dalam kamar
“kamu juga, sih. Ngga nurut apa kata kakak mu. Kalo disuruh itu ya nurut, dilaksanakan. Jangan melawan. Pusing kepala bunda kalo kalian ribut terus setiap hari. Malu sama tetangga”
Bundapun ikut menyalahkanku, bunda tak bisa berbuat banyak akan kelakuan kakakku yang kasar itu. Aku selalu di pihak yang salah. Entah, apa yang membuat kakakku begitu kasar padaku. Dulu ia tidak seperti itu, tapi sejak aku aktif dalam organisasi dakwah kampus dan sering kali mengikuti kegiatan di luar kampus, ia berubah total. Dulu, ia tak pernah ambil pusing ketika aku ikut organisasi Pramuka, ia malu punya adik yang menggunakan jilbab besar, apalagi jika teman-temannya kerumah terutama yang cowok. Bunda cuma bisa diam dan cenderung mengalah setiap kak Dina mulai memancing keributan. Mengalah untuk menang, itu dalih bundaku.
Hatiku sakit. Aku seorang aktifis dakwah, yang ketika di luar begitu dikagumi banyak adik-adik binaanku. Seperti kata Fia di surat yang dia berikan ketika hari lahirku. Ana sangat bersyukur dikaruniakan oleh Allah sosok saudara seperjuangan yang begitu mengerti, sholihah, cerdas, tangguh, kuat dan yang membuat ana semakin kagum adalah sifat peduli mu terhadap sesama. Ukhti bisa bersikap sangat ramah dengan siapapun, selalu terlihat ceria. Seperti tak ada masalah di hatimu yang luas itu. Ukhti, tetaplah menjadi saudaraku. Terakhir, semoga umurnya berkah dan selalu dilindungiNya. Amin.
Kutarik nafas dalam-dalam.
Fiuh.
Aku sosok yg kuat? Ah, entah lah, apa betul begitu. Buktinya sekarang aku terlihat sangat lemah. Setiap aku kembali ke rumah setelah melakukan perjuangan di luar. Kekuatan ku seperti menguap tak berbekas. Aku kembali menjadi sosok yang pendiam dan tertutup. Bertolak belakang sekali dengan karakterku di luar. Semoga Allah meridhoi semua apa yang aku lakukan. Termasuk sekarang, aktifitas yang rutin aku tunaikan, duduk di sebelah jendela, menatap langit. Sambil berharap, langit kan tersenyum menghapus semua kegundahan yang aku rasakan. Tapi nyatanya, aku tetap berada dalam kondisi yang memprihatinkan.
***
Minggu pagi. ada acara Tatsqif Muslimah, aku sebagai ketua pelaksana mulai sibuk sejak pagi, mengkoordinir semua anggota untuk mempersiapkan acara yang akan dihadiri oleh semua muslimah yang termasuk dalam LDK di kampusku.
Ketika peserta mulai berdatangan, aku melihat sosok yang amat aku kenal. Jantungku tiba-tiba berdebar hebat. Dadaku sesak. Firasat jelek sudah menguasai semua dinding hati.
“Ngapain lu disini? Merasa hebat sudah jadi aktifis besar? Ngga tau malu, lu!!”
kak Dina menarik tanganku. Semua mata langsung tertuju ke kami. Aku malu.
“Kita ke sana aja, kak” kataku mencoba tenang. Tapi mata ini sudah mulai panas. Agak kutarik tangannya supaya menjauh dari tempat acara.
“apa-apan, lu” ditepisnya tanganku.
“Lu emang ngga tau malu. Gue tadi kan bilang lu jangan pergi sebelum lu selesai beresin rumah. Kenapa lu langsung pergi, tanpa pamit pula. Sudah merasa hebat pula. Sejak kapan lu berani seperti ini, sejak lu ikut-ikutan seperti temen lu itu. Udah berani melawan rupanya, apa itu yang diajarkan sama organisasi lu itu?! HAH?!!” bentaknya. Semakin membuat situasi mencekam. Tak ada yg berani mendekat. Tuhan, apa yang harus hamba perbuat.
“Tadi aku sudah pamit sama bunda, kak. Semua sudah aku bereskan. Hanya memberi makan kucing yang belum. Tapi aku sudah menyuruh Ega untuk memberi kucing itu makan. Aku takut telat, kak. Di sini ada acara” kataku pelan.
“gue lebih sayang dengan kucing dari pada dengan elu. Lu seneng kan kalo kucing-kucing gue mati?! Dan itu jelas kerjaan lu belum beres. Masih melawan lu?” didorongnya tubuhku. Untung tidak terjatuh. Tapi beberapa akhwat sudah ada yg menahan suaranya. Kaget.
“tapi, aku takut telat, kak aku punya kewajiban disini”
“banyak omong lu. Emang urusan gue? lu mau telat ato ngga? TERSERAH, jadi lu lebih milih acara ini daripada keluarga lu!! Lu emang dah kelewatan. Ini kerjaan lu??? Apa manfaatnya?? Apa disini lu dapetin gaji, bisa ngasih makan lu” ditatapnya sekeliling
“gara-gara jilbab lebar ini lu jadi melawan sama gue. HAH!!” tiba-tiba tangan kak Dina menarik paksa jilbab ku. Hampir terlepas, jika tidak dilerai oleh akhwat yang lain, mungkin keadaanku semakin mengenaskan. Ku pegang erat jilbabku. Jangan sampai aurat ini terlihat oleh yang tidak berhak.
“sudah-sudah… jangan diteruskan. Kita selesaikan secara baik-baik” kata mbak Icha menenangkan.
“ikut campur, lu. Gue ngga punya waktu!! Awas lu ya..” jari telunjuknya mendorong kepalaku ke belakang. Aku hanya bisa menangis. Malu dan sakit.
“urusan kita belum selesai. Kalo ngga banyak manusia sejenis lu di sini. Dah abis lu gue pukul”
Asstaghfirullah, dosa besar apa yang telah hamba lakukan, yaa Robb. Hingga dengan cara ini hamba harus membersihkan diri. Beri hamba kekuatan. Tanpa itu, entah dengan apalagi hamba bertahan hidup. Kulihat kak Dina berlalu. Lega.
Aku langsung dibawa ke sekretariat. Acara tetap dilaksanakan. Entah apa yang berkecamuk dalam hati mereka. Sedih kah? Kasihan kah? Peduli kah? Ah, entahlah.
“anti kenapa ngga cerita kalo punya saudara seperti itu? Paling ngga kita bisa kasih anti keluasan waktu. Dari pada begini, aib anti terlihat oleh semua orang. Tapi sudahlah, semua sudah terjadi” sesal mbak Icha. Pengurus LDK periode tahun lalu.
“ana ngga ingin beban ini malah memberatkan saudara yang lain, mbak. Biarlah ana sendiri yang merasakannya. Beban mereka sudah terlalu berat, amanah dakwah yang mereka emban sudah menyita waktu dan fikiran. Toh, ini masalah pribadi ana. InsyaAllah jika ini sudah kehendakNya, maka semua bisa dilewati” kataku mencoba bersikap bijak. Biarlah, keikhlasan dan kesabaran ini menjadi tabungan amal buatku.
“Maafkan ana, mbak. Mungkin ana sudah mencoreng nama LDK kampus karena peristiwa tadi. Tapi semua terjadi di luar kehendak ana. Maafkan yaa, mbak” tambahku disela isak yang tertahan. “ya sudah, sabar ya, dik. Allah yakin, adik bisa melalui ini, bukankah Allah tak pernah memberikan ujian di luar batas kemampuan hambaNya? Yang tenang ya. Innallaha ma’a shobirin. Jangan merasa kesepian, berbagilah dengan saudara yang lain, biar beban yang adik rasa tak terlalu berat. Adik sudah menjadi uswah di kampus ini. Tetaplah berjuang, dakwah membutuhkan kader-kader tangguh seperti adik. Adik tau? Kami sangat mencintai adik” mbak Nopi langsung memelukku. Pecahlah tangisku disana.
Indah sekali ukhuwah ini, yaa Robb. Kenapa aku masih ragu untuk berbagi dengan mereka? Padahal mereka begitu peduli dengan apa yang aku rasa. Cintai mereka, yaa Robb. Ikatkan hati kami di jalan mulia ini. Amin.
***
Fia menemaniku di sekretariat, ia memelukku erat setelah kejadian itu seolah ingin memberikan kepadaku kekuatan. Aku bahagia punya saudara seperjuangan seperti Fia.
“Kuat ya, Nis. Allah sayang sama anti. Semakin tinggi kedudukan seorang hamba, maka semakin kencang angin ujian berhembus. Ana yakin anti bisa melalui fase ujian ini dengan baik. Nisa sang mujahidah tangguh gitu lho!!”
“ana mencintai anti karena Allah…”
Fia… aku bukan sekedar mencintaimu di dunia. Tapi aku sangat berharap, kelak di akhirat kita saling bergandeng tangan bersama Rosulullah. Kita saling menguatkan ya, melewati ujian Allah ini. Tapi tenanglah, Allah selalu bersama kita. Tetaplah tegar, seperti mujahidah yang aku kagumi. Ujarku dalam hati. SubhanAllah, mesra sekali ukhuwah ini. Teruslah ikatkan hati kami dalam naungan cintaMu yaa Robb.
***
Hari ini acara Jalatsah Ruhiyah dadakan nih. Semua pengurus akhwat dakwah kampus berkumpul di taman kampus. Semalam, Fia memberiku informasi via SMS. Dan ternyata agenda hari ini evaluasi dan introspeksi serta curhat. Aku hanya bisa diam..
Acara berjalan khusuk, tak terasa air mata mengalir, kami saling menggenggam jari. Saling merangkul, saling berbagi, saling menasihati. Kami saling menceritakan semua kondisi pribadi dan keluarga kami pada forum ini. Air mata terus mengalir, ternyata bukan aku saja yang memiliki problem keluarga tapi juga Fia sahabatku. Fia menceritakan semua yang terjadi. Semua tak menyangka kalau Fia sang staf departemen kaderisasi itu mempunyai segudang masalah di rumah. Akhirnya kami menyadari bahwa ukhuwah yang kami rasa cukup itu ternyata amatlah gersang. Segersang hati kami ketika kami tak mengetahui bahwa saudara seperjuangan kami menderita. Dan sekarang, kegersangan itu kami siram dengan nasihat dan rasa ikhlas. Semoga hati kami yang tandus ini berubah menjadi lahan subur untuk menumbuhkan rasa cinta dan empati kepada saudara.
Satu pelajaran indah yang aku petik, semua harus disyukuri, apapun yang terjadi. Karena itu sudah kehendakNya. Dan semua akan terasa lebih ringan jika kita saling berbagi.
Begitu indah komunitas ini. Kenapa tidak dari dulu aku berbagi?
Ternyata, bukan hanya kami berdua yang punya segudang masalah, ada Fira, Syita, Aisyah, banyak lagi.
“Hidup memang sunnatullahnya begitu. Istirahatnya para mujahid adalah di surga. Kita hanya akan berhenti ketika langkah kaki kita menginjak pelataran surga” begitu kata Mbak Icha ketika menenangkan kami.
“Ketika kita berhasil menyelesaikan beberapa masalah, maka akan banyak lagi masalah yang menuntut penyelesaian. Begitu seterusnya. Semakin tinggi derajat kita dihadapan Allah. Semakin berat ujian yang Allah beri sama kita. Berbahagialah bagi yang merasa bahwa ujian hidup ini sangat berat, barangkali orang tersebut derajatnya di hadapan Allah sudah sangat tinggi. Tapi yakinlah, Allah tidak akan menyulitkan hambaNya, dan Allah tidak pernah memberi beban di luar kemampuan hambaNya” Mbak Nopi menambahi.
Aku tertegun. Tubuh ini bergetar.
“Dinda Sholihah, mbak selalu mengagumi sayap-sayap kalian yang tak pernah berhenti mengepak dan senantiasa terbang tinggi dan kian tinggi. Kecepatan dan gelombang ruhiyah kalian pun sangat luar biasa. Kalian, aktivis dakwah yang tak pernah kenal henti berjuang, dinamis, dan haroki, mewakili moto tentang jangan pernah diam dan berhenti bergerak, karena diam dapat mematikan”
Yaa Robb, setitik cinta yang hamba harapkan, semoga bisa menguatkan langkah ini. Selangkah kaki di jalan mulia ini semoga bisa meneguhkan azzam ini. Hamba tak perduli setinggi apa kedudukan hamba di hadapanMu, hamba akan terus berusaha untuk menjadi yang terbaik dengan ikhtiar yang tertatih ini. Terimalah cinta yang tak seberapa ini, yaa Robb. Pintaku dalam hati.
Berikan kami kekuatan, ya Rabb. Jadikan kami mujahidah-mujahidah tangguh yang akn selalu tegar berada di jalan-Mu. Ikatkan hati kami untuk menggapai cinta-Mu. Lanjutku Sambil menatap langit. Dan aku berharap senyuman dari langit. Hatiku sangat bahagia.
“Nisa, tersenyumlah selalu, karena senyummu bias meluruhkan keletihan hatiku dan saudara-saudara yang lain. Tegarlah seperti karang. Anti tidak akan pernah sendiri”. Aku terkejut ketika Fia berada disampingku.
Nisa tersenyum. Dia memang sangat bahagia hari ini. Langit biru, tersenyum di horizon. Senyum itu terpantul di permukaan danau. Air mata kadang justru memperindah senyuman, sebab di baliknya ada cerita penuh makna. Tiba-tiba angin sejuk menerpa wajahku. Sejuk sekali. Wangi.
readmore »»