Sabtu, 17 April 2010

Memanggil yang tak tergapai

Memanggil yang tak tergapai

Kita yang menjalani hidup dengan mengalir
Seperti air
Mungkin lupa bahwa air hanya mengalir
Ke tempat yang lebih rendah

“Jika memang Muhammad seorang Nabi”, kata pemuka yahudi kepada Zaid ibn Haritsah, “Kau takkan pernah bias pulang!” kata-kata itu mereka deraskan pada Zaid menjelang keberangkatannya memimpin pasukan ke Mu’tah. Saat itu Rasulullah SAW bersabda kepada sang panglima bersama pasukannya, “Jika Zaid syahid, maka Ja’far ibn Abi Thalib yang akan memimpin pasukan. Jika Ja’far gugur, maka ‘Abdullah ibn Rawahah yang akan memegang bendera.”
“Sesungguhnya dulu”, kata orang-orang Yahudi itu, “Apabila Nabi-nabi Bani Israil menyebut nama seratus orang sebagai panglima, maka dipastikan mereka semua akan gugur. Jadi, jika memang Muhammad seorang Nabi, engkau wahai Zaid pasti mati dalam perang ini!” Apa jawab Zaid, “Tak setitik pun keraguan padaku bahwa dia seorang Nabi. Dan kata-katanya benar lagi dibenarkan dari langit tinggi!”
Maka 3000 pasukan itu pun berangkat diiringi syair-syair semangat dari sang panglima ketiga, ‘Abdullah ibn Rawahah. Adapun ia, menangis pada awalnya. Apakah karena takutkan kematian seperti bisik-berisik para Yahudi? “Bukan!”, tegasnya. Ia lalu membaca ayat ke-71 dari Surat Maryam.
“ Dan tidak seorang pun dari kalian melainkan akan mendatangi neraka itu. Itu bagi Rabbmu adalah suatu kemestian yang telah ditetapkan.” (Q.s. Maryam : 71)
“Aku tidak tau bagaimana caranya keluar dari neraka itu setelah mendatanginya”, kata ‘Abdullah. Sahabat-sahabatnya pun menyahut, “Semoga Allah senantiasa menemanimu dan mengembalikanmu kepada kami dalam sehat dan sentausa!” menjawab doa itu, ia pun bersenandung.

Tetapi aku, kumohon ampunan pada Ar Rahman
Dan pukulan keras menghantam buih lautan
Atau hentakan mematikan di tangan yang dahaga
Menghunjamkan tombak menembus kulit ke dalam dada
Hingga orang katakan ketika lalui pusaraku
Inilah pahlawan yang mentaati Ilahi

‘Abdullah ibn Rawahah menegaskan cita tinggi di dalam syairnya ini. Dan ketika rombongan sampai di Ma’an, mereka mendengar bahwa Heraclius, kaisar Romawi, memimpin sendiri 100.000 bala tentaranya yang lalu digabungkan dengan pasukan Lakham, Judzam, Qain, Bahra dan Baliy yang dipimpin oleh Malik ibn Zafilah hingga seluruhnya berangka 200.000 prajurit bersenjata lengkap. Bagaimanakah ini, sedangkan kekuatan pasukan dari Madinah hanya 3000 personel? Satu berbanding tujuh puluh?
“Kita tulis surat kepada Rasulullah SAW”, kata seseorang. “Kita beritahu beliau jumlah musuh kita. Bisa jadi beliau akan mengirimkan pasukan tambahan. Atau beliau akan memberika suatu perintah. Lalu kita taati perintah itu.”
Ada yang mengangguk. Tapi sebagian besar menolehkan kepala kepada para panglima. Zaid ibn Haritsah dan Ja’far ibn Abi Thalib terdiam. Zaid seperti biasa memang tak banyak kata. Sedang Ja’far yang baru saja datang ke Madinah dari hijrahnya di Habasyah merasa belum berhak banyak bicara. Mereka lalu melirik ‘Abdullah ibn Rawahah, sang penyair Anshar. Dalam hati Zaid dan Ja’far mungkin melintas pendapat, karena sebagian besar pasukan terdiri atas kaum Anshar biarlah ‘Abdullah yang bicara. Lisannya yang fasih, kata-katanya yang jernih, dan nada bicaranya yang menggelora akan meyakinkan setiap orang.
“Saudara-saudaraku”, kata ‘Abdullah kemudian, “Sesungguhnya apa yang tidak kalian sukai ini justru merupakan tujuan dan cita-cita keberangkatan kita. Tidakkah kalian merindukan mati syahid? Kita memerangi musuh bukan mengandalkan senjata, kekuatan, ataupun banyaknya jumlah bilangan. Kita memerangi mereka hanyasanya mengandalkan agama ini, yang Allah telah muliakan kita karenanya. Maka dari itu, majulah dengan barakah Allah! Kita pasti memperoleh satu di antara dua kebaikan; MENANG atau SYAHID!!”
Lalu semua orang menyorakkan takbir…
readmore »»